Suwardi Lubis
1. Teori Komunikasi
Istilah atau bahasa inggrisnya “communication” berasal dari bahasa latin yaitu: communication dan bersumber dari bahasa komunis yang berarti “sama”. Sama disini berarti sama makna (lambang). Ruslan (1997 : 81) jadi komunikasi akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dibicarakan. Carl I Hovlan memberi definisi komunikasi adalah proses dimana seseorang atau komunikator mengirim rangsangan atau biasanya berupa lambang dengan maksud untuk mengubah sikap individu atau yang lain komunikasi Wahyudi (1986:31).
Sedangkan menurut Sarbaugh yang dikutip Sunarwinardi bahwa komunikasi merupakan proses penggunaan lambang-lambang dan tanda-tanda yang mendatangkan makna bagi orang lain. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa dalam berkomunikasi lambang maupun simbol merupakan komponen vital bagi kelangsungan sampai pesan pada proses komunikasi itu sendiri.
Menurut Miller komunikasi itu mengandung situasi kepribadian sebagai minat sentral. Dimana seseorang sebagai sumber menyatakan suatu pesan kepada seseorang atau sejumlah penerima yang secara sadar mempengaruhi prilakunya. Dalam definisinya Miller memperluas komunikasi dengan tujuan perubahan prilaku. Ini berarti komunikasi menurut Miller bukan sekedar upaya memberitahukan tetapi juga mempengaruhi agar sesorang atau sejumlah orang melakukan kegiatan dan tindakan tertentu (dalam Effendi 1998:12).
Dalam definisi diatas pada dasarnya mereka mengungkapkan bahwa komunikasi itu merupakan proses penyampaian pesan diri seseorang kepada orang lain dengan maksud agar mengerti memperkuat ataupun mempengaruhi sikap pendapat dan prilaku seseorang.
Sechram dalam Wahyudi (1986:50) memberikan definisi komunikasi sebagai berikut. Bila kita melakukan komunikasi kita mencoba membangun kesamaan dari seseorang. Kita mencoba tukar menukar informasi, ide atau sikap pesan sehingga antara penerima dan pengirim dapat mengartikan yang sama terhadap pesan ini. Komunikasi dari dua aspek yaitu secara umum dan prakmatis. Definisi komunikasi secara umum adalah proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan secara prakmatis adalah proses penyampaian pesan kepada orang lain pendapat atau prilaku baik langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan media.
2. Pengertian Komunikasi Massa
Komunikasi telah mencapai suatu tingkat dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Teknologi komunikasi mutakhir telah menciptakan apa yang disebut “ Publik Dunia”
Sejak tahun 1964 komunikasi massa telah mencapai public dunia secara langsung dan serempak. Melalui satelit sekarang ini secara teoritis kita akan mampu memperlihatkan satu gambar, memperdengarkan satu suara kepada tiga miliar manusia diseluruh dunia secara simultan. Komunikator hanya tinggal menyambungkan alat pemancar dan jutaan orang tinggal menyetel alat penerima. Secara teknis hal ini sudah lama dapat dilakukan. Yang masih harus diperdebatkan ialah: komunikator mana yang harus bicara, dan gambar apa yang harus diperlihatkan. ( Dofivat dalam Rakhmat, 2005)
Di negara-negara maju, efek komunikasi massa telah beralih dari ruangan kuliah ke ruang pengadilan, dari polemic ilmiah diantara professor ke debat parlementer diantara anggota badan legislative. Dinegara berkembang efek komunikasi telah merebut perhatian berbagai kalangan, sejak politisi, tokoh agama, penyair, sampai petani. Walaupun hampir semua orang menyadari efek komunikasi massa, sedikit sekali orang yang memahami gejala komunikasi massa. Akibatnya komunikasi massa telah dipandang secara ambivalen.
Sebelum dilihat efek komunikasi dalam menambah pengetahuan khalayak dan mempengaruhi sikap mereka perlu dijelaskan dahulu apa yang dimaksud dengan komunikasi massa.
Definisi yang paling sederhana tentang komunikasi massa di rumuskan Bittner (1980)” Mass Comunication Is messages communication through a mass medium to a large number of people” ( Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang).
Ahli komunikasi yang lain mendefinisikan komunikasi dengan memperinci karakteristik komunikasi massa. Menurut Gerbner dalam Rakhmat (2005) bahwa komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri).
Kemudian Rakhmat menghimpun definisi komunikasi massa yang di kutif dari beberapa ahli antara lain:
Komunikasi massa kita artikan setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada public yang tersebar ( Maletzke) A mass communication may be distinguished from other kinds of communication by the fact that it is addressed to a large cross-section of a population rather than only one or a few individuals or a special part of the population. It also makes the implicit asumsion of some technical means of transmitting the communication in order that the communication may reach at the same time all the people forming the cross-section of the population. ( Freidsow) ( Komunikasi massa di bedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar supaya komunikasi itu dapat mencapai pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat).
Bentuk baru dari komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama sebagai berikut : diarahkan pada khalayak yang relative besar, heterogen, dan anonym; pesan disampaiakan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas; komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan biaya besar (Wright).
Merangkum definisi-definisi diatas, komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak ataun elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
3. Pengertian E-Literacy
Secara umum untuk menggambarkan kondisi Sumber daya Manusia (SDM) di bidang telematika dapat diketahui dari tingkat kesadaran, pemahaman dan pendayagunaan ICT yang disebut e-literacy. Literacy dalam kamus bahasa Inggris, diartikan sebagai “the ability to read and write” atau kemampuan untuk membaca dan menulis. Dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan kata ‘melek’. Secara sederhana literasi adalah kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy Profiles of America’s young adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya Indeks Pembangunan Manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Penciptaan generasi yang literat, saat ini mencakup berbagai bidang kehidupan diantaranya literasi membaca, literasi politik, literasi pengetahuan, literasi gender dan berbagai literasi lainnya. Persamaan diantara berbagai konsep literasi adalah penciptaan masyarakat yang memiliki kebebasan akses informasi dan cerdas menggunakan informasi yang dimilikinya.
Badan tinggi PBB sendiri, pada tahun yang sama juga membuat kajian terhadap konsep melek media ini dan merumuskannya sebagai segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat, dan dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan evaluasi media sebagai lahan yang ditempati oleh media dalam masyarakat, dampak sosialnya, implikasi komunikasi bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya.
4. Difusi ICT
Literasi terhadap ICT diawali dengan adopsi terhadap teknologi ICT. Sebagaimana proses difusi terhadap ide baru lain, difusi ICT meliputi beberapa elemen yaitu (1) ada ide baru (2) dikomunikasikan melalui saluran tertentu, (3) sepanjang waktu, (4) kepada seluruh anggota system sosial. Inovasi diterima anggota sosial apabila : (2) ada keuntungan relatif, (2) kompartibel, (3) kompleksitas, (4) realibitas, (5) dapat diobservasi, (Rogers 1986:117)
Sebagaimana difusi terhadap ide baru lain, difusi ICT seringkali melalui komunikasi dua tahap. Hal ini karena media massa lebih efektif dalam menciptakan inovasi pengetahuan, komunikasi interpersonal lebih cocok dalam membentuk dan mengubah ide baru dan secara langsung mempengaruhi keputusan mengadopsi atau menolak ide baru (Rogers, 1986:117).
Model-model komunikasi yang paling awal berdasarkan komunikasi linear antar dua orang mendominasi sampai tahun 1960-an, kemudian berkembang menjadi komunikasi dua arah dan interaktif diantaranya partisipan yang terlibat. Menurut Bemro yang dikutif Amri Jahi (1988) menganggap partisipan-partisipan ini sebagai transceiver , karena keduanya mengirim dan menerima pesan. Pada model komunikasi satu arah dikenal sebagai aliran informasi satu arah, sedangkan komunikasi dua tahap disebut aliran informasi dua tahap oleh Lazarsfeld, Berselon dan Gaudet (1944) . pesan-pesan yang dikirim oleh media massa baik media cetak maupun media elektronik lebih dulu diterima openion leader setelah itu diteruskan kepada masyarakat pedesaan. Model Lazarsfeld tersebut disebut dengan Two Step Flow. Teori ini banyak dipakai untuk masalah marketing dan pembangunan. Dalam pembangunan maupun marketing, keputusan mengadopsi ide atau keputusan membeli biasanya selain informasi dari media juga dipengaruhi oleh orang yang dianggap berpengaruh dibidangnya. Di Indonesia adaptasi teori ini yang dikembangkan oleh Reogers pada masa orde baru banyak dipakai untuk kampanye keluarga berencana.
Terdapat implikasi metodologis dari studi Lazersfeld tersebut yaitu penelitian media massa dibagi dalam 3 bagian utama yaitu (1) Audience research (tipe orang seperti apa yang memberi perhatian pada pesan komunikasi). (2) Analisis Isi : studi tentang bahasa, logika dan pesan komunikasi. (3) Efek analisis : studi tentang pengaruh komunikasi. terdapat 4 variabel intervening yang berfungsi memfasilitasi aliran komunikasi dan menutup aliran komunikasi. Variabel-variabel tersebut adalah : (1) terpaan : manusia tidak mudah diterpa oleh stimuli media yang sepesifik dan searah. (2) perbedaan karakter media : apakah pesan yang sama memberikan dampak yang berbeda jika disampaikan melalui media yang berbeda. (3) Isi ( bentuk, presentasi, bahasa) : menjelaskan perbedaan efek berdasarkan perbedaan isi. (4) kajian tentang sikap dan predisposisi psikologis dari audience yang dihubungkan dengan kesuksesan dan kegagalan kampanye. Sikap individu atau predis posisinya berpengaruh terhadap efek komunikasi. (Katz dan Lazarfeld dalam Barret dan new bold, 1995).
Terdapat hal yang khusus dalam difusi teknologi komunikasi (rogers 1986) : 121-122).
1. Critical mass adopter dari teknologi komunikasi interaktif dibutuhkan untuk kegunaan ide baru agar cukup bagi individu untuk mengadopsi. Kegunaan sistem komunikasi baru meningkat seluruh adopter dengan masing-masing adopter tambahan.
2. Media komunikasi baru merupakan tool technologius yang mempersentasekan teknologi tersebut sebagai computer –based innovations yang sering ditandai dengan tingkat re-innovations yang relatif tinggi.
3. Variabel terkait dalam studi difusi dan media baru lebih pada tingkat penggunaan inovasi daripada sekedar pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau mengimplementasikan.
5. Penggunaan Media
Penelitian ini merupakan penelitian tentang penggunaan media. Blumer, Katz dan Gurrevitch menyusun teori yang menjelaskan tentang apa yang dilakukan manusia terhadap media. Teori ini merupakan audience sebagai pihak yang aktif, teorinya dinamakan uses and gratifications. Teori ini melihat dari efek dari tujuan persuasif komunikator dalam memperkenalkan kebutuhan audience. Kebutuhan audience sebagai variabel antara dalam hubungan antara isi media dengan penerimaan audience. Teori ini tertarik dengan hakekat kebutuhan sosial psikologis yang meningkatkan harapan dari media dan sumber lain yang menimbulkan adanya pola yang berbeda dari eksposure media dan menyebabkan perlunya gratifikasi. Pendekatan uses and gratifications melihat bahwa pemakai media menghabiskan waktu untuk melarikan diri dari kehidupan dunia. Pendekatan ini mengkritik konsep fungsionalisme yang menekankan peran media dalam memuaskan audience. Katz, Blumer dan Gurrevith dalam barret dan new Bold, 1995,164-173).
Pendekatan uses and gratification merupakan pendekatan yang ingin menjelaskan mengenai cara individu menggunakan komunikasi diantara berbagai sumber lainnya yang ada dalam lingkungan, untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk mencapai tujuan mereka. Kepuasan diproleh media melalui komunikasi tidak hanya secara psikologis tetapi juga produk dari perbedaan peran sosial yang menggunakan komunikasi. Individu menseleksi media atau isi media dalam perannya sebagai anggota masyarakat dalam kelompok tertentu ibu rumah tangga, anggota gereja) untuk memproleh wawasan untuk memenuhi kebutujan sosial psikologisnya.
Dalam artikelnya tentang “untiliations off mass communications by the individual” (dalam barret dan new bold, 1955:164-172) Katz , blumer dan gurevitch menjelaskan bahwa uses and gratification merupakan pendekatan yang memberi penjelasan mengenai cara individu menggunakan komunikasi diantara berbagai sumber diantara berbagai sumber yang ada untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan. Lundberg dan Hulten menyebut bahwa terdapat 5 asumsi yang membentuk pendekatan uses and gratification. Kelima asumsi tersebut adala :
Audience merupakan individu yang aktif, ini merupakan hal yang penting karena asumsinya adalah bahwa penggunaan media bersifat Goal priented. Namun hal ini berlawan dengan tesis Bogard bahwa efek media merupakan representasi masa lalu dan bukan merupakan kegiatan yang berguna.
Dalam proses komunikasi banyak inisiatif yang menyambungkan kebutuhan akan gratifikasi dan pemilihan media dengan keanggotaan audience.
Media bersaing dengan sumber lain dalam memenuhi kebutuhan akan kepuasan. Kebutuhan tersebut dipenuhi oleh media secara terus menerus tetapi segemen kebutuhan makin meluas dan kebutuhannya bisa dipenuhi oleh variasi dalam mengkomsi media.
Secara metodologis tujuan penggunaan media dapat diturunkan dari data yang diberikan audience.
Value Judgment tentang siginifikansi budaya komunikasi budaya sebaiknya dihentikan sementara orientasi audience I dieksplorasi. Dengan demikian bisa dilihat persamaan dan perbedaan dalam pendekatan uses and gratification.
Aktivitas audience merupakan sentral dalam kajian uses and gratification. Mc Quail dan Gurrevitch, (dalam Levy and Windahl, 1985.111) menjelaskan bahwa terdapat 3 pendekatan dalam memahami aktivitas audience yaitu :
Pendekatan fungsional yang fokusnya adalah kebutuhan akan gratifikasi. Pendekatan melihat aksi atau motivasi yang menekankan pada postulat bahwa faktor sosial psikologis menentukan kebutuhan, motivasi dan grativikasi individu. Disini audience dianggap sebagai voluntary.
Struktural kultural, penekannya pada regulasi isi media dan prilaku eksposure. Pendekatan strukturan kultural menekankan pada faktor material dan kultural yang menentukan. Pendekatan ini beranggapan bahwa pilihan individu terbatas.
Aksi atau motivasi yang menekankan pada individu sebagai aktor yang purposif. Posisi dalam struktur sosial membuat individu mnjadi pasif dan aktivitas individu berbeda menurut klas. Disini individu bisa bernegosiasi atau oposisi terhadap pesan yang hegemonik.
Audience memiliki teripologi audience (Levy and Windahl, dalam rosengren, 1985 : 112-113). Dimensi pertama adalah orientasi kuantitatif audience terhadap proses komunikasi yang dibagi dalam 3 hal yaitu pemilihan, keterlibatan dan kegunaan proses pemilihan berhubungan dengan persepsi yang berhubungan dengan kognisi media. Keterliban adalah khalayak penerimaan hubungan antara dirinya dengan media melalui pesan-pesannya. Sedangkan kegunaan adalah bagaimana individu menggunakan komunikasi massa dengan tujuan sosial dan psikologi. Dimensi kedua aktivitas audience adalah temporal dan mempertanyakan apakah aktivitas audience adalah temporal. Dan mempertanyakan apakah aktivitas audience terjadi sebelum, selama atau setelah eksposure.
5.1.Pemilihan Media
Adapun factor-faktor yang berkaitan dengan pemilihan media adalah sebagai berikut :
Pemilihan sebelum eksposure disebut selective informations seeking. Terdapat 2 interpretasi mengenai selective informations seeking. Problematik pertamanya adalah konflik dengan makna. Hal ini merupakan proses psikologi yang membiarkan keinginan individu menghindarkan ketidak cocokan yang mungkin muncul dari eksposure kepesan yang bertentangan dengan sikap, opini dan keingan yang telah ada sebelumnya. Kedua adalah selectivitas dalam information seeking untuk merefleksikan keputusan individu untuk diekspose karena didasarkan pada persepsi pembelajaran dari media dan pengalaman masa lalu.
Pemilihan selama ekspose didahului oleh selektivitas sebelum eksposure, jadi dalam hal ini konsumsi terhadap isi media merupakan prilaku yang selektif. Setiap individu memilih pesan yang berbeda.
Pemilihan setelah eksposure, contohnya adalah selective raecall, yaitu ingatan setelah eksposure yang memperlihatkan partisipasi aktif individu dalam proses komunikasi.
5.2. Keterlibatan
Keterlibatan sebelum eksposure : beberapa tahap antisipasi dapat disamakan dengan penggunaan media yang direncanakan.
Keterlibatan selama terpaan, salah satu cara memahami kondisi saat terpaan adalah mempertimbangkan kesadaran psikologis yang melatar belakangi aktivitas tersebut.
Keterlibatan pasca terpaan, keterlibatan individual terhadap pesan media tidak dapat dibatasi hanya saat mengkonsumsi, tetapi dapat berlangsung setelah pesan selsai berlanjut pada konsumsi aktual.
5.3. Kegunaan
- Kegunaan sebelum terpaan : terdapat keperluan interpersonal dan sosial pada individu.
- Kegunaan selama terpaan : Individu menemukan bahwa kebutuhan sosial dan psikologis meningkat melalui interaksi mereka dengan media. Kepuasan koginif dan afektif diperoleh dari penggunaan media dirasakan dalam terpaan.
- Kegunaan pasca terpaan : yaitu ketika individu berbicara mengenai apa yang telah dibaca maka hal tersebut mencerminkan kesatuan informasi yang dicapai melalui prilaku sosial dan psikologis sehingga individu dapat disebut sebagai upaya menunjukkan aktivitas pasca terpaan.
Penelitian uses and gratification biasanya memberikan klasifikasi tentang fungsi media bagi audience. Terdapat perbedaan mengenai fungsi media. Perbedaan terjadi karena memfokuskan kajian pada level, materi serta budaya yang berbeda.
Konsepsi bahwa pungsi media adalah tunggal yaitu fungsi melayani kebutuhan audience yang ingin melarikan diri dari kenyataan dan masuk dalam dunia hiburan semu. Dengan demikian penggunaan media untuk berfungsi yang bermanfaat kurang diperhatikan.
Konsep media sebagai fungsi ganda ketika studi uses and gratification dilakukan kepuasan audience dipenuhi oleh media maka isi media dilihat dikomotis yaitu memberi khayalan atau fantasi bagi audience atau sebagai sarana informasi pendidikan.
Pemahaman audience mengenai fungsi media sebagaimana dikemukakan lasswell. Laswell mengembangkan konsep mengenai fungsi media dengan analisis makro sosiologi, kemudian Wrigh mengembangkan dengan menggunakan analisis sosisologi makro maupun mikro. Dalam konsep Lasswell dan Wrigth fungsi media ada 4 yaitu : pengawasan, korelisasi, hiburan dan transmisi kultural. Kemudian Mc Quail, Blumer dan Brown mengembangkan tripologi fungsi media mejadi sarana hiburan, hubungan personal, identitas personal dan pengawasan, (Katz Blumer dan Gurrevicth dalam Barret dan Newbold, 1995,164-173).
Kesimpulan
Berbicara mengenai fungsi media kita tidak bisa melepaskan dari pembahasan mengenai teori agenda setting. Agenda setting merupakan fungsi belajar dari media massa. Khalayak tidak hanya mempelajari isu pemberitaan tetapi juga memperlajari seberapa penting suatu isu. Hal yang dianggap penting oleh media kemudian juga dinanggap penting oleh khalayak. Agenda setting merupakan mekanisme media dalam menciptakan konsensus. Peran media tidak langsung tetapi media membuat orang berfikir tentang isu yang dianggap penting. Agenda setting menegaskan hubungan sebab akibat langsung antara agenda media dan persepsi publik tentang apa yang penting saat ini. Oleh karena itulah Teori Agenda setting kemudia merger dengan uses and gratification. McCombs dan Weaver melihat adanya motif yang berbeda dalam pencarian informasi politik yang dihasilkan oleh agenda setting yang berbeda. Kedua tokoh tersebut menemukan bahwa peningkatan orientasi meningkatkan efek agenda setting (Mc Combs and Shaw dalam barrett, McCombd adn Weaver dan New Bold, 1995:153-164).
Terdapat 3 model dalam penelitian Agenda Setting :
Model awareness : publik menyadari isu atau tema dilaporkan media. Model ini paling baik menjelaskan situasi ketika terpaan media rendah dan variabel atara rendah.
Model Prioritas : media memberikan urutan topik yang tampak pada coverage dan displaye. Biasanya model ini lebih baik dalam menyajikan realitas, dimana penekananan media dan terpaan publik terhadap serangkaian isu dan pengaruh variabel antara seperti ketertarikan atau kebutuhan orientasi.
Model salience : publik mengikuti media dalam menentukan topik yang dianggap penting. Dapat dipakai pada lingkungan dimana terdapat kombinmasi pengaruh tinggi atau rendah antara perbedaan media dan variabel contingent (DeGeorge, Mass Communications Review Yearbook).